Dumai, 20 April 2025 – IKS DUMAI
Cinta yang Tak Pernah Lelah
Di sebuah rumah sederhana di pinggiran Kota Dumai, terdengar lantunan doa setiap subuh, lembut menyentuh hati siapa pun yang lewat. Rumah itu milik Pak Umar dan Bu Salma, pasangan yang telah melewati lebih dari empat dekade kehidupan rumah tangga. Tak ada gerbang mewah, tak ada lampu hias mencolok. Tapi ada sesuatu yang jauh lebih berharga: cinta yang tak pernah lelah, sabar yang tak pernah putus, dan doa yang terus menyala.
Di dunia yang serba cepat dan penuh tuntutan ini, mereka membuktikan bahwa ketulusan bisa jadi fondasi kuat sebuah keluarga.
Diuji Tapi Tak Pernah Menyerah
Hidup mereka jauh dari kata mudah. Pak Umar hanyalah buruh pelabuhan. Tangannya kasar, kulitnya legam terbakar matahari. Sementara Bu Salma, mengisi hari dengan menjahit pakaian tetangga demi menambah uang belanja. Tapi mereka tak pernah mengeluh. "Kami bukan orang kaya, tapi kami ingin anak-anak kami kaya hati, kaya iman," kata Bu Salma suatu hari, matanya berkilau oleh harapan.
Ujian terbesar datang ketika anak kedua mereka, Ani, mengalami kecelakaan motor dan tak bisa berjalan lagi. Dunia seperti runtuh. Tapi tak satu pun dari mereka menyalahkan takdir. Pak Umar justru membangun kursi roda sendiri dari bekas-bekas besi bengkel. Setiap hari, ia menggendong Ani sampai ke ujung jalan demi bisa bersekolah.
Saat ditanya kenapa tak pernah mengeluh, Pak Umar hanya tersenyum, “Kalau kita saling sayang, capek pun jadi doa. Kalau kita saling percaya, luka pun jadi kekuatan.”
Bahagia yang Tidak Mesti Mewah
Mereka tak punya rumah besar, tapi meja makan mereka selalu penuh: bukan dengan makanan mewah, tapi dengan cerita, tawa, dan kebersamaan. Bu Salma selalu menyempatkan masak sayur bening kesukaan anak-anak. Kadang hanya ada telur dadar, tapi rasanya seperti lauk surga karena dimasak dengan cinta.
Anak-anak mereka tumbuh jadi pribadi yang tangguh dan lembut. Ada yang jadi guru di kampung, ada yang jadi relawan kesehatan. Tak ada yang pergi meninggalkan Dumai, semua memilih tinggal dekat, karena seperti kata Ani, “Kami belajar cinta dari dua orang tua yang tak pernah mengeluh, tak pernah berhenti bersyukur.”
Subuh, Tempat Mereka Kembali
Setiap subuh, meski lutut sudah mulai lemah, Pak Umar dan Bu Salma tetap salat berjamaah. Setelah itu, mereka duduk bersisian, membaca surat pendek dengan suara pelan. Bu Salma selalu mendoakan anak-anaknya satu per satu, menyebut nama mereka, harapan untuk jodoh yang baik, rezeki yang halal, dan kesehatan yang berkah.
Pak Umar hanya menunduk, diam, tapi air matanya jatuh membasahi sajadah. “Cinta itu bukan hanya pelukan, tapi juga diam yang penuh harap dalam doa,” katanya lirih.
Menjadi Cermin untuk Kita Semua
Hari ini, mereka berdua adalah guru kehidupan di mata tetangga dan komunitas. Bukan karena gelar tinggi atau pangkat, tapi karena mereka menyentuh hati banyak orang hanya dengan cara hidup yang sederhana namun penuh makna. Mereka mengajarkan bahwa sakinah bukan dicapai karena rumah tangga tanpa masalah, tapi karena dua hati yang memilih untuk saling bertahan, saling merawat, dan saling menguatkan.
Penutup: Menjadi Rumah Bagi Satu Sama Lain
Keluarga sakinah bukanlah mitos. Ia ada, tumbuh dari rasa sabar, dibesarkan oleh doa, dan dikuatkan oleh cinta yang tak bersyarat. Pak Umar dan Bu Salma bukan siapa-siapa, tapi mereka telah menjadi pelita di jalan banyak keluarga yang mulai letih.
Semoga kita pun bisa menjadi rumah bagi pasangan kita. Tempat pulang yang hangat, yang menerima dalam duka, dan membesarkan dalam cinta.
🌿 Karena sakinah itu bukan tempat, tapi hati yang saling merangkul dalam ridha Allah. 🌿
0 Comments